09 Agustus 2008

16. Musik Suku Biak-Numfor (4)

Kira-kira dua tahun yang lalu (2006), saya menemukan secara kebetulan suatu CD musik tradisional yang langsung saya beli di suatu toko penjualan CD, VCD, DVD, dan kaset di Semanggi Plaza, Jakarta Pusat. Terpampang pada gambar sampul depan berwarna cokelat muda dua orang lelaki berusia antara 20-30 tahun dalam busana tradisional Biak tengah menabuh tifa. Tertulis: "SERI MUSIK INDONESIA BIAK IRIAN JAYA 10 Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia". Angka 10 adalah rekaman seri ke-10.

Sampul belakang CD itu memberi ringkasan yang agak rinci. CD itu berisi musik dari Biak, Irian Jaya. Ada tujuh belas wor (tarian disertai nyanyian tradisional khas Biak), empat nyanyian gereja, dan satu lagu yosim-pancar (yospan). Ke-22 lagu ini dalam bahasa Biak. Semuanya direkam di Biak pada tahun 1993 dan 1994 dan disunting oleh Philip Yampolsky serta diulas oleh Yampolsky dan Danilyn Rutherford. Yampolsky dan Rutherford adalah dua orang Amerika Serikat dari Pusat Program Kehidupan Rakyat dan Kajian Budaya Lembaga Smithsonian di Washington DC, AS. Hasil rekaman musik tradisional di Biak adalah salah satu proyek kerjasama antara Lembaga Smithsonian dengan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia (MSPI) di Jakarta. Karena blog ini memusatkan perhatian pada musik tradisional di Papua, saya akan membatasi pembahasan selanjutnya pada ke-17 wor tadi.

Yosim pancar - disingkat yospan - adalah fusi dua tarian rakyat modern dari Papua, yaitu, yosim dan pancar. Yosim adalah suatu tarian tua mirip poloneis dari dansa Barat dan berasal dari Sarmi, suatu kabupaten di pesisir utara Papua/Papua Barat di barat Jayapura, dekat Sungai Mamberamo. Pancar adalah suatu tarian yang berkembang di Biak-Numfor dan Manokwari awal 1960-an semasa Belanda, meniru pada awal sejarah kelahirannya, gerakan-gerakan "akrobatik" di udara - seperti gerakan jatuh jungkir-balik dari langit, mirip daun kering yang jatuh tertiup angin - dari pesawat tempur jet Neptune buatan Amerika Serikat yang dipakai Angkatan Udara Belanda di Irian Barat. Awal 1960-an, konflik Belanda-Indonesia seputar status kedaulatan atas Irian Barat masih berlangsung. Karena pesawat tempur ini digerakkan oleh pancaran gas (jet), maka tarian yang meniru gerakan akrobatiknya mula-mula disebut Pancar Gas, kemudian disingkat menjadi Pancar. Sejak kelahirannya awal 1960-an, Pancar sudah memperkaya gerakannya dari sumber-sumber lain, termasuk dari alam. Fusinya dengan yosim sangat memperkaya tarian rakyat ini.

Ke-17 lagu ini terdiri dari enam lagu tarian, enam lagu non-tarian, dan lima lagu naratif. Sebagian nyanyian tradisional ini sudah disebutkan Dr. F.C. Kamma dalam tulisan terdahulu. Lagu tarian mencakup kankarem, morikin, sandia, dun sner, dan dow mamun refo. Kayob, kayob refo, dow besom refo, armis, randan, dan dow bemun wame tergolong pada lagu-lagu non-tarian. Lagu-lagu naratif - boleh disebut balada-balada - terdiri dari beyuser Koreri, beyuser, dan beyuser refo.

CD yang saya beli disertai di dalamnya oleh lipatan lembaran cetakan yang juga memberi ulasan Rutherford dan Yampolsky tentang Biak dan ke-22 lagu tadi. Bagian-bagian yang relevan akan diringkaskan di sini.

Penduduk Biak-Numfor dan Wor

Penduduk Biak-Numfor bejumlah 96.000 orang pada awal 1990-an. Pada dasawarsa ini, ia kabupaten yang paling padat penduduknya di Irian Jaya. Ia juga satu-satunya wilayah di Irian Jaya yang penduduknya punya satu bahasa dan kebudayaan.

Wor dipandang oleh kedua pengulas tadi sebagai suatu corak musik Biak. Masa kini, wor jarang ditemukan; meskipun demikian, "banyak orang yang dibesarkan bersama wor masih ingat lagu-lagu tersebut dan senang kalau diminta menyanyikannya".

Dulu, masyarakat Biak senang menyelenggarakan pesta-pesta megah untuk menandai kehidupan sosialnya. Wor adalah tarian disertai nyanyian dalam pesta-pesta itu. Sekarang, kedua-duanya tergolong pada sejarah masa lampau. Meskipun demikian, "upacara perkawinan, ulang tahun, atau keselamatan pulang dari pelayaran masih dirayakan dengan kegiatan makan dan minum, menari dan menyanyi sepanjang malam." Nyanyian wor masa lampau sekarang diganti dengan lagu-lagu gereja dan yospan dalam kebanyakan perayaan.

Apa Itu Wor?

Di masa lampau, wor menjadi bagian dari kehidupan orang Biak. Ia punya berbagai fungsi, terutama, untuk menyampaikan identitas sosial. Para wanita yang berkebun atau bertenun menyanyikan wor untuk mengenang orang-orang kesayangannya di tempat yang jauh atau untuk mengenang anggota-anggota keluarganya yang sudah meninggal dunia. Para pria menyanyikan wor di tengah laut untuk menenangkan roh-roh laut atau untuk bersiap-siaga sebelum berperang. Anggota keluarga dari segala usia menyanyikan wor seminggu penuh untuk menandai suatu jenjang hidup dari seorang anak. Untuk mengutarakan identitas sosial, peserta wor mengesahkan tuntutan klen atas batas wilayah, menyuarakan permintaan akan pemberian makanan dan minuman pada pesta, dan memohon simpati atau dukungan.

Suatu ciri wor adalah improvisasi-improvisasinya oleh penyanyi yang berpengalaman. Penyanyi ini terampil, benar-benar menguasai seluk-beluk melodi dan ritme wor, dan mendemonstrasikan improvisasi-improvisasinya yang cerdik dan cepat. Kemahirannya menyanyi secara spontan seperti ini membuat dia memperoleh popularitas dan keberuntungan.

Improvisasi adalah kemampuan seseorang untuk menyanyi atau memainkan suatu alat musik tanpa persiapan, tanpa musik yang diingat atau ditulis. Jazz adalah suatu corak musik modern yang dicirikan juga oleh improvisasi.

Ada puluhan jenis wor dalam musik tradisional suku Biak-Numfor. Jenis-jenis wor ini dibedakan berdasarkan melodi, ritme, dan atau fungsi sosialnya. Ada, misalnya, kankarem, lagu pembukaan; beyuser, lagu berkisah atau balada; dow mamun, lagu perang; dan lagu-lagu tarian seperti yerisam, sandia, dan dow arbur.

Jenis-jenis wor ini bisa disebut wor-wor standar karena suku Biak mengenal juga dan menerima variasi-variasi wor. Variasi-variasi ini bersifat regional atau individual dan mereka menghargainya sebagai semacam dialek-dialek musikal.

Meskipun ada berbagai jenis wor dan variasinya, semuanya berasal dari satu skema yang rumit dan konsisten. Mereka yang menguasai skema ini sudah menguasai kaidah-kaidah seni wor dan keindahannya.

Setiap wor dibagi dalam dua bagian: kadwor atau "pucuk" dan fuar atau "akar". Menyanyikan kedua bagian ini secara berganti-gantian antara penyanyi solo dan koor atau antara satu kelompok dan kelompok lain menimbulkan kesan orang menyanyikan kanon, seperti yang sudah dijelaskan.

Mula-mula, seseorang memperkenalkan suatu lagu yang baru dengan menyanyikan kadwor dan fuar supaya didengar dan dihafal penyanyi dan penari lain. Ketika penyanyi solo mengulangi lagu baru itu dari awal, penyanyi lain menjawab dengan menyanyikan bagian pertama. Kemudian, serombongan penari dan penyanyi lainnya bergabung dengan menyanyikan bagian pucuk dan akar; satu kelompok menyanyikan pucuk dan kelompok lainnya menyanyikan akar. Tarian dan nyanyian mereka diiringi tabuhan gendang-gendang tifa yang memainkan ritme; volumenya makin besar ketika makin banyak penyanyi menangkap lirik lagu yang diperkenalkan seorang penyanyi individual tadi.

Ketika lagunya sudah dikuasai sebagian besar penyanyi, tahap-tahap menyanyikan lagu itu menjadi lebih sederhana. Solois hanya menyanyikan kadwor, lalu koor mengambil alih dengan mulai dari kadwor dan melanjutkan nyanyian ke fuar.

Bagaimana tingginada suatu wor ditetapkan? Tergantung setiap individu dalam setiap kelompok. Masing-masing memilih suatu tingginada dan bergabung dengan koor sesuka hatinya. Penetapan tingginada secara individual bisa mengakibatkan melodi versi seorang penari dan penyanyi berbeda dengan versi melodi yang lain. Namun demikian, semuanya akan menyatu dalam bagian akhir dari setiap larik.

Ada kebebasan yang menonjol dan untuk bersaing ketika orang menari sambil menyanyikan wor dwi-bagian. Sementara seorang penyanyi memulai lagunya, dia bukanlah pemimpin koor yang akan menyanyikan kembali lagunya. Koor itu tetap tanpa pemimpin; setiap orang berusaha untuk menonjol. Tidak hanya ini. Setiap paroan suatu koor berusaha untuk mendominasi lagunya. Suatu paroan koor yang menyanyikan akar memulai bait mereka sebelum paruhan koor lain yang menyanyikan ujung selesai. Penyanyi kadwor membalas dengan berusaha "merampas kembali" lagunya.

Akibat apakah yang timbul dari cara menyanyi yang menyingkapkan kebebasan untuk bersaing macam ini? Terciptalah apa yang dalam musik Barat disebut bentuk heterofonik, suatu istilah yang mengacu pada struktur atau susunan nyanyian. Ia dibentuk dari dua kata: hetero- (lain, berbeda) dan -fonik (bersifat memakai atau menghasilkan bunyi). Dalam hubungan dengan susunan nyanyian wor menurut caranya ia dinyanyikan, bentuk heterofonik mengacu pada variasi bebas dalam nada-nada, dalam frasa-frasa melodik, dalam melodi-melodi, dan dalam kualitas-kualitas bunyi nyanyian wor; semua ciri ini terjadi secara bersamaan dalam susunan suatu nyanyian dan tarian wor.

Suatu contoh lirik wor bisa memperjelas ciri-cirinya. Susunannya mirip suatu teka-teki karena bagian fuar mengisi bagian "kosong" dari kadwor. Syairnya seputar dua orang ahli musik asal Amerika Serikat - Philip Yampolsky dan Danilyn Rutherford dari Lembaga Smithsonian - yang merekam wor ini dan wor lainnya.

Kadwor (Pucuk)

  1. Imyundiso rwamanjasa. rwamanjasa (Alangkah baiknya engkau berdua bisa datang, engkau berdua bisa datang).
  2. Suworo mindima mukesepen boi muyun dandi ra bebuka-i boi sukon surower (Mereka akan menyanyikan wor untukmu, untuk direkam, dibawa ke sana, dan dibuka - dimainkan kembali - untuk didengar mereka sambil duduk-duduk).

Fuar (Akar)

  1. Aryo naeko Suan Bebayae imyundiso rwamanjasa, rwamanjasa (Oh saudara perempuan, Tuan Besar - musikolog dari Amerika - alangkah baiknya engkau berdua bisa datang, engkau berdua bisa datang).
  2. Romawa suworo mindima mukesepen boi muyun dandi ra bebuka-i boi insoso bin ansul iwa sukon surower (Supaya para pemuda dapat menyanyikan wor untukmu, untuk direkam, dibawa ke sana, dan dibuka - dimainkan kembali - untuk didengar oleh para gadis di sana sambil duduk-duduk).

Wor yang berisi pucuk dan akar tadi adalah juga suatu contoh beyuser, nyanyian yang berkisah. Dalam menyanyikannya, para penyanyi mengindividualisasi melodinya. Rekamannya bisa Anda dengar pada side bar blog ini.

Apakah individualisasi itu terbatas pada nyanyian wor tadi? Ternyata tidak. Pencipta lagu pun menunjukkan individualisasi dalam lagu-lagu wor ciptaannya. Individualisasi macam apa? Bab berikut akan menjawab pertanyaan ini dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.

Tidak ada komentar: